Israel dan Hamas Saling Tuduh Langgar Gencatan Senjata Gaza
lighthousedistrict.org – Gencatan senjata di Gaza yang telah berlangsung selama sembilan hari kini berada di bawah tekanan besar. Pada Minggu, 19 Oktober 2025, tentara Israel mengumumkan telah melancarkan serangan udara ke sejumlah wilayah sebagai tanggapan atas dugaan serangan militan Hamas terhadap pasukan mereka. Insiden ini kembali memicu ketegangan di wilayah yang masih rapuh setelah perang dua tahun terakhir.
Namun, pihak Hamas membantah tuduhan tersebut dan menegaskan tetap mematuhi perjanjian gencatan senjata. Seorang pejabat senior Hamas bahkan menuduh Israel menciptakan “dalih palsu” untuk kembali melanjutkan operasi militernya di Gaza. Situasi ini menandakan rapuhnya perdamaian yang baru tercipta, serta memperlihatkan betapa mudahnya konflik dapat kembali memanas di wilayah tersebut.
Serangan Udara Israel dan Tudingan Pelanggaran
Dalam pengarahan daring pada Minggu sore, militer Israel mengonfirmasi telah melakukan serangan udara di Rafah (Gaza selatan) dan Beit Lahia (Gaza utara). Militer memperingatkan kemungkinan adanya serangan lanjutan jika Hamas terus melakukan tindakan yang dianggap melanggar perjanjian.
Badan Pertahanan Sipil Gaza, yang berada di bawah otoritas Hamas, melaporkan sedikitnya 13 orang tewas akibat serangan tersebut. Israel menyatakan masih menyelidiki laporan korban jiwa dan menegaskan serangan dilakukan sebagai langkah pertahanan.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memerintahkan pasukan keamanan untuk “mengambil tindakan tegas terhadap target-target teroris di Jalur Gaza”. Sementara Menteri Pertahanan Yoav Katz menegaskan bahwa Hamas akan “membayar mahal untuk setiap peluru dan setiap pelanggaran gencatan senjata.”
Gencatan Senjata yang Didorong Amerika Serikat
Perjanjian gencatan senjata ini merupakan hasil mediasi Presiden AS Donald Trump dan mulai berlaku sejak 10 Oktober 2025. Kesepakatan tersebut menghentikan perang yang telah berlangsung lebih dari dua tahun antara Israel dan Hamas.
Isi perjanjian mencakup pertukaran sandera dan tahanan, serta rencana pembangunan kembali Gaza melalui “peta jalan” ambisius. Namun, sejak awal, implementasinya menghadapi tantangan besar di lapangan. Banyak pengamat menilai kedua belah pihak masih saling curiga, terutama terkait kontrol wilayah dan jaminan keamanan.
Kronologi Ketegangan di Rafah dan Beit Lahia
Menurut pernyataan militer Israel, bentrokan bermula ketika “teroris menembakkan rudal anti-tank dan menembaki pasukan IDF di Rafah.” Sebagai respons, jet tempur dan artileri Israel menyerang area yang dianggap sebagai sumber serangan.
Saksi mata di Rafah melaporkan dua serangan udara besar yang menyebabkan kehancuran di wilayah padat penduduk. Salah seorang warga berusia 38 tahun mengatakan kepada AFP bahwa pasukan Hamas sebenarnya sedang menghadapi geng lokal bernama Abu Shabab, sebelum kehadiran tank-tank Israel memperburuk situasi.
“Angkatan udara melancarkan dua serangan besar di tengah bentrokan,” ujarnya tanpa ingin disebutkan namanya. Bentrokan di lapangan membuat banyak warga sipil kembali mengungsi, memperparah situasi kemanusiaan di selatan Gaza.
Baca Juga : “Bungkam Getafe 1-0, Real Madrid Geser Barcelona dari Puncak Klasemen Liga Spanyol 2025-2026!“
Reaksi Politik dan Militer di Israel
Ketegangan ini memicu perdebatan di dalam negeri Israel. Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir, yang dikenal berhaluan keras, mendesak tentara “melanjutkan pertempuran penuh di Jalur Gaza dengan seluruh kekuatan.”
Pemerintah Israel menghadapi tekanan dari kelompok politik sayap kanan untuk mengakhiri kesepakatan gencatan senjata, dengan alasan Hamas masih menjadi ancaman serius bagi keamanan nasional. Namun, sebagian analis menilai langkah itu berisiko memicu perang baru yang dapat menguras sumber daya dan memperburuk citra Israel di mata dunia.
Sikap Hamas dan Pernyataan Resmi
Di sisi lain, Izzat Al-Rishq, anggota biro politik Hamas, menegaskan bahwa kelompoknya tetap berkomitmen pada perjanjian damai. “Israel terus melanggar kesepakatan dan mencari-cari alasan untuk membenarkan kejahatannya,” tegasnya dalam pernyataan resmi.
Sayap bersenjata Hamas juga membantah adanya operasi ofensif terhadap pasukan Israel dan menegaskan bahwa kelompok itu tidak mengetahui adanya bentrokan di Rafah. Hamas menilai tindakan Israel merupakan provokasi yang dapat menggagalkan proses pemulihan di Gaza.
Rencana 20 Poin dan Masa Depan Gaza
Berdasarkan rencana 20 poin yang diusulkan Trump, pasukan Israel telah mundur melewati Garis Kuning, menguasai sekitar separuh wilayah Gaza, termasuk perbatasan utama tetapi tidak mencakup kota besar seperti Gaza City atau Khan Younis.
Sebagai bagian dari kesepakatan, Hamas telah membebaskan 20 sandera dan memulangkan jenazah mereka yang telah meninggal. Meski langkah ini dipuji dunia internasional, pelaksanaan penuh gencatan senjata masih terganggu oleh insiden bersenjata di lapangan dan minimnya kepercayaan antara kedua pihak.
Dampak Kemanusiaan yang Masih Berat
Konflik panjang Israel–Hamas telah menimbulkan krisis kemanusiaan besar. Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, sedikitnya 68.159 orang tewas sejak perang meletus pada Oktober 2023. PBB menilai angka tersebut kredibel, meski tidak membedakan antara kombatan dan warga sipil.
Lebih dari setengah korban tewas merupakan perempuan dan anak-anak, menggambarkan skala penderitaan masyarakat Gaza. Sementara itu, di pihak Israel, serangan awal Hamas pada 7 Oktober 2023 menewaskan 1.221 orang, sebagian besar warga sipil.
Prospek Perdamaian dan Tantangan ke Depan
Kedua pihak kini berada dalam posisi sulit. Israel berusaha mempertahankan keamanannya tanpa terjebak dalam perang berkepanjangan, sementara Hamas mencoba menjaga legitimasi politik di tengah tekanan internasional dan penderitaan rakyatnya.
Para analis menilai, kunci keberhasilan gencatan senjata terletak pada keinginan kedua pihak untuk menahan diri dan melibatkan pihak ketiga secara konsisten, termasuk Amerika Serikat, Mesir, dan Qatar.
Namun, selama aksi saling tuduh dan serangan balasan masih terjadi, prospek perdamaian di Gaza akan tetap rapuh. Situasi ini mengingatkan dunia bahwa penyelesaian jangka panjang konflik Israel–Palestina tidak hanya membutuhkan kesepakatan politik, tetapi juga komitmen kemanusiaan dan keadilan yang sejati bagi seluruh rakyat di wilayah tersebut.
Baca Juga : “Info A1, Timur Kapadze Tertarik Latih Timnas Indonesia Gantikan Patrick Kluivert!“
